Bahwa ini pada menyatakan ceritera daripada Negeri Tambora yang dimurkai Allah Subhanahu wa Taala, maka jadi binasa Negeri Tambora sekarang ini.
Sebermula ada seorang Said Idrus, asalnya dari Bengkulu, ialah menumpang kepada orang Bugis, singgah di Negeri Tambora berniaga. Maka ada suatu hari maka Tuan Said Idrus naik ke darat, masuk dalam negeri besar berjalan-jalan pesiar sampai waktu lohor, maka ia masuk dalam masjid sembahyang. Maka didapatnya ada di dalam mesjid itu anjing, maka disuruh usir ke luar anjing, disuruh pukul. maka orang yang jaga anjing itu marah, maka berkata orang yang jaga anjing itu, "Raja kami yang empunya anjing itu". Maka Tuan Said itu pun berkata, "Baik siapa yang punya anjing, karena ini mesjid, Allah Subhanahu wa Taala yang empunya rumah ini. Siapa yang memasukkan anjing di dalam mesjid, orang itu kafir". Maka orang yang jaga anjing itu pergi mengadu kepada Raja Tambora, mengatakan "Ada seorang tuan-tuan Arab mengatakan kita ini orang Tambora dikatakan kafir, sebab didapatnya ada anjing dalam mesjid".
Setelah Raja Tambora mendengar perkataan itu, maka Raja Tambora itu pun amarah, kemudian Raja Tambora menyuruh memotong anjing itu dengan kambing, maka disuruh penggil orang Arab itu. Maka Tuan Said Idrus itu pun datang di rumah Raja Tambora dengan segala wazir Tambora. Setelah selesai daripada orang-orang Tambora sekalian duduk, maka hidangan nasi ditaruh ke hadapan orang banyak, dengan satu hidangan yang berisi daging anjing itulah dihadapannya Tuan Said; hidangan yang isi daging kambing di hadapan orang baik dengan raja Tambora.
Maka makanlah sekalian orang. setelah sudah makan, maka Raja Tambora itu pun bertanya kepada Tuan Said itu, katanya Raja Tambora, "Hai Arab! Sebagaimana kau katakan haram anjing?" Maka Tuan SAid itupun menyahut kata Raja itu, "Ya, haram". Maka Raja Tambora itu pun berkata, "Jikalau engkau katakan haram, mengapa engkau makan tadi itu anjing?" Maka Tuan Said itu pun menyahut kata Raja itu, "Bukannya anjing saya makan ini tadi, saya makan daging kambing". Sebagaimana bicaranya, jadi berbantah Raja Tambora dengan Tuan Said, maka Raja Tambora pun amarahlah kepada Tuan Said itu. Maka Raja Tambora itu pun menyuruhkan orangnya, "Bawa olehmu orang Arab ini bunuh". Maka orang itu pun memegang tangan Tuan Said itu antara beberapa orang, maka dibawanya naik ke Gunung Tambora. Setelah sampai di atas Gunung Tambora itu, maka orang yang membawa Tuan Said itu ditikam dengan senjata dan dengan tombak, maka Tuan Said itu pun tiada boleh dimakan senjata itu. Maka orang itu pun menghela kayu, ada yang mengambil batu, ada yang melontar, ada yang memukul kepada Tuan Said itu, maka dimasukkan ke dalam goa itu. Kemudian maka orang itu pun pulanglah, hendak menyampaikan itu kepada Raja. Antara negeri dengan gunung itu orang yang datang membunuh Tuang Said itu, maka menyala api di gunung, tempat di mana Tuan Said dibunuh itu. Maka api itu pun [makin] besar, baik kayu, baik batu, baik bumi semuanya menyala. Maka api itu pun mengikut pada orang yang datang membunuh Said itu, maka orang itu pun larilah semuanya hendak lari masuk negeri besar, maka api itu pun duluan menyala dalam negeri itu. Maka gemparlah segala isi negeri Tambora, masing-masing mencarikan dirinya kehidupan. Maka daripada sebab kebesaran Allah Subhanahu wa Taala, maka api itu pun di mana orang lari, api pun mengikuti, orang yang lari ke laut, api pun mengikut ke laut, sampai lautan Tambora pun menyala. sampai berapa-berapa hari menyala api di gunung, di negeri, di lautan, di bumi. Maka kelam kabut daripada hujan abu itu, suatu pun tiada lepas manusia isi Negeri Tambora, berapa-berapa ribu orang mati terbakar itu. Antara berapa hari api menyala, belum padam api di gunung, Negeri Tambora pun tenggelam, menjadi lautan, sampai sekarang ini kapal boleh berlabuh di mana bekas Negeri Tambora adanya.
Syahdan maka bekas negeri-negeri yang satu tanah Negeri Tambora itu pun semuanya kena bala, yang sebelah barat Negeri Tambora itu Negeri Sumbawa, yang sebelah timur Negeri Tambora itu Negeri Sanggara dan Negeri Papekat, dan Dompo, dan Negeri Bima, masih membawa dirinya kepada Gouvernement adanya. Semuanya negeri itu ada yang bagi dua, ada yang bagi tiga keluar orangnya dengan sebab kelaparan, ada yang mati. Manusia yang hidup masing-masing pergi di mana-mana mengikut orang dagang, asal boleh dapat makan, ada yang menjual dirinya pada temannya ditukar sama padi.
Syahdan di negeri di Sumbawa sehingga Pinggalang dalam hujan abu segala binatang mati sebab tertunu di abu. Tiga tahun diada boleh mengerjakan tempat padi. Ada lebih selaksa orang Sumbawa mati dan yang meninggalkan negerinya adanya.
Dan sebagai lagi di Negeri Mengkasar dan di Negeri Bugis, tatkala terbakar Negeri Tambora, sehari semalam gelap hujan abu antero Negeri Bugis Mengkasar, tetapi itu waktu tanah yang kurus menjadi gemuk di Bugis Mengkasar.
Tiada berapa lamanya sudah terbakar Negeri Tambora, maka ada suatu hari maka darang air besar dari tiga ombak besar, dari selatan datangnya itu ombak, maka tujuh negeri kecil tenggelam, perahu dagang yang ada berlabuh di situ semuanya dibawa ombak naik di hutan.
Sebermula ada seorang Said Idrus, asalnya dari Bengkulu, ialah menumpang kepada orang Bugis, singgah di Negeri Tambora berniaga. Maka ada suatu hari maka Tuan Said Idrus naik ke darat, masuk dalam negeri besar berjalan-jalan pesiar sampai waktu lohor, maka ia masuk dalam masjid sembahyang. Maka didapatnya ada di dalam mesjid itu anjing, maka disuruh usir ke luar anjing, disuruh pukul. maka orang yang jaga anjing itu marah, maka berkata orang yang jaga anjing itu, "Raja kami yang empunya anjing itu". Maka Tuan Said itu pun berkata, "Baik siapa yang punya anjing, karena ini mesjid, Allah Subhanahu wa Taala yang empunya rumah ini. Siapa yang memasukkan anjing di dalam mesjid, orang itu kafir". Maka orang yang jaga anjing itu pergi mengadu kepada Raja Tambora, mengatakan "Ada seorang tuan-tuan Arab mengatakan kita ini orang Tambora dikatakan kafir, sebab didapatnya ada anjing dalam mesjid".
Setelah Raja Tambora mendengar perkataan itu, maka Raja Tambora itu pun amarah, kemudian Raja Tambora menyuruh memotong anjing itu dengan kambing, maka disuruh penggil orang Arab itu. Maka Tuan Said Idrus itu pun datang di rumah Raja Tambora dengan segala wazir Tambora. Setelah selesai daripada orang-orang Tambora sekalian duduk, maka hidangan nasi ditaruh ke hadapan orang banyak, dengan satu hidangan yang berisi daging anjing itulah dihadapannya Tuan Said; hidangan yang isi daging kambing di hadapan orang baik dengan raja Tambora.
Maka makanlah sekalian orang. setelah sudah makan, maka Raja Tambora itu pun bertanya kepada Tuan Said itu, katanya Raja Tambora, "Hai Arab! Sebagaimana kau katakan haram anjing?" Maka Tuan SAid itupun menyahut kata Raja itu, "Ya, haram". Maka Raja Tambora itu pun berkata, "Jikalau engkau katakan haram, mengapa engkau makan tadi itu anjing?" Maka Tuan Said itu pun menyahut kata Raja itu, "Bukannya anjing saya makan ini tadi, saya makan daging kambing". Sebagaimana bicaranya, jadi berbantah Raja Tambora dengan Tuan Said, maka Raja Tambora pun amarahlah kepada Tuan Said itu. Maka Raja Tambora itu pun menyuruhkan orangnya, "Bawa olehmu orang Arab ini bunuh". Maka orang itu pun memegang tangan Tuan Said itu antara beberapa orang, maka dibawanya naik ke Gunung Tambora. Setelah sampai di atas Gunung Tambora itu, maka orang yang membawa Tuan Said itu ditikam dengan senjata dan dengan tombak, maka Tuan Said itu pun tiada boleh dimakan senjata itu. Maka orang itu pun menghela kayu, ada yang mengambil batu, ada yang melontar, ada yang memukul kepada Tuan Said itu, maka dimasukkan ke dalam goa itu. Kemudian maka orang itu pun pulanglah, hendak menyampaikan itu kepada Raja. Antara negeri dengan gunung itu orang yang datang membunuh Tuang Said itu, maka menyala api di gunung, tempat di mana Tuan Said dibunuh itu. Maka api itu pun [makin] besar, baik kayu, baik batu, baik bumi semuanya menyala. Maka api itu pun mengikut pada orang yang datang membunuh Said itu, maka orang itu pun larilah semuanya hendak lari masuk negeri besar, maka api itu pun duluan menyala dalam negeri itu. Maka gemparlah segala isi negeri Tambora, masing-masing mencarikan dirinya kehidupan. Maka daripada sebab kebesaran Allah Subhanahu wa Taala, maka api itu pun di mana orang lari, api pun mengikuti, orang yang lari ke laut, api pun mengikut ke laut, sampai lautan Tambora pun menyala. sampai berapa-berapa hari menyala api di gunung, di negeri, di lautan, di bumi. Maka kelam kabut daripada hujan abu itu, suatu pun tiada lepas manusia isi Negeri Tambora, berapa-berapa ribu orang mati terbakar itu. Antara berapa hari api menyala, belum padam api di gunung, Negeri Tambora pun tenggelam, menjadi lautan, sampai sekarang ini kapal boleh berlabuh di mana bekas Negeri Tambora adanya.
Syahdan maka bekas negeri-negeri yang satu tanah Negeri Tambora itu pun semuanya kena bala, yang sebelah barat Negeri Tambora itu Negeri Sumbawa, yang sebelah timur Negeri Tambora itu Negeri Sanggara dan Negeri Papekat, dan Dompo, dan Negeri Bima, masih membawa dirinya kepada Gouvernement adanya. Semuanya negeri itu ada yang bagi dua, ada yang bagi tiga keluar orangnya dengan sebab kelaparan, ada yang mati. Manusia yang hidup masing-masing pergi di mana-mana mengikut orang dagang, asal boleh dapat makan, ada yang menjual dirinya pada temannya ditukar sama padi.
Syahdan di negeri di Sumbawa sehingga Pinggalang dalam hujan abu segala binatang mati sebab tertunu di abu. Tiga tahun diada boleh mengerjakan tempat padi. Ada lebih selaksa orang Sumbawa mati dan yang meninggalkan negerinya adanya.
Dan sebagai lagi di Negeri Mengkasar dan di Negeri Bugis, tatkala terbakar Negeri Tambora, sehari semalam gelap hujan abu antero Negeri Bugis Mengkasar, tetapi itu waktu tanah yang kurus menjadi gemuk di Bugis Mengkasar.
Tiada berapa lamanya sudah terbakar Negeri Tambora, maka ada suatu hari maka darang air besar dari tiga ombak besar, dari selatan datangnya itu ombak, maka tujuh negeri kecil tenggelam, perahu dagang yang ada berlabuh di situ semuanya dibawa ombak naik di hutan.
Sumber : Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, karya Henry Chambert-Loir penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2004.