Monday, January 8, 2007

Upacara Hanta U’a Pua Dihidupkan kembali

UPACARA adat Hanta U’a Pua yang diselenggarakan kembali, memberikan arti tersendiri bagi masyarakat Bima terutama Majelis Adat Dana Mbojo. Menurut Hj. Siti Maryam, ketua Majelis Adat ini, sejak tahun 1950-an saat peralihan pemerintahan dari Kesultanan menjadi Pemerintahan Swapraja, kegiatan ini terhenti dan tidak mampu sepenuhnya dihidupkan kembali.
Usaha menghidupkan kembali tradisi ini bukannya tidak pernah dicoba, namun terbentur kendala karena situasi politik yang menggesek, tarik ulur. “Pernah dicoba sekali tahun 1980-an dan sekali tahun 1990-an, serta tahun 2003 lalu,” kata Siti Maryam.

Diselenggarakannya lagi tradisi Hanta U’a Pua kali ini, menurutnya, merupakan pertanda baik karena mendapat sambutan positif masyarakat maupun pemerintah. Kelihatannya masyarakat Bima tampak lebih antusias kali ini, ujarnya. Bagi Majelis Adat Dana Mbojo, melestarikan nilai budaya asli Bima yang dirayakan masyarakat Bima secara umum merupakan salah satu agenda penting yang harus segera dibenahi dari segi kualitas maupun kuantitasnya. “Sejarah jangan sampai putus. Ini kekayaan yang tidak bisa dinilai dengan materi,” kata budayawati yang kini berkosentrasi menulis sejarah Bima pada masa lampau ini.
Jika tidak dihidupkan kembali, tuturnya, mana mungkin orang Bima terutama yang masih muda-muda tahu sejarah dan tradisi daerahnya. Contoh, kenapa di Bima ada Kampung Melayu? Ini penting diketahui sebagai modal wawasan budaya anak-anak muda, bukan sekadar ingin mengenalkan istana dan kesultanan, katanya. Pada zamannya dulu, Kesultanan Bima pernah menjadi salah satu kerajaan berpengaruh di Indonesia dan dikenal hingga Eropa.
Kampung Melayu di tengah Kota Bima sekarang, dulunya merupakan tempat khusus sebagai hadiah pemberian raja kepada para datuk dan rombongan orang-orang Melayu yang mengantar Islam masuk ke Bima. Kini, keturunan orang Melayu asli yang mendiami tempat tersebut tidak lagi banyak, hanya sekitar 50 KK, kata H.Muhammad Ibrahim, Penghulu Melayu yang ke 60-an, yang kini menjadi pemimpin bagi orang-orang Melayu di Bima. Tiap peringatan Hanta U’a Pua, dari kampung sederhana inilah Uma Lige menjadi pusat perhatian khalayak yang sengaja memenuhi ruas-ruas jalan tempat mereka lewat, untuk mengantarkan U’a Pua kepada raja muda di istana tua Kesultanan Bima.
U’a Pua, dalam bahasa Melayu disebut “Sirih Puan” merupakan satu rumpun “tangkai bunga telur” berwarna warni yang dimasukkan dalam satu wadah segi empat berjumlah 99 tangkai yang disimbolkan sebagai Asma’ul Husna dan di tengahnya terdapat sebuah Al Quran. Sebuah rumah mahligai yang biasa disebut Uma Lige berukuran 4 X 4 meter2 terbuka dari empat sisinya beratap dua susun. Di dalamnya, tampak jelas disaksikan puluhan ribu pasang mata di sepanjang jalan, empat perempuan menari Lenggo Mbojo dan empat laki-laki menari Lenggo Melayu, melenggak lenggok menebar senyum sembari mendampingi Penghulu Melayu, memasuki arena mengantar U’a Pua. -nik
Saat Upacara Peralatan
Kesultanan Dikeluarkan

APRIL 2006, tradisi Kesultanan Bima berupa Hanta U’a Pua mulai digelar lagi. Puluhan ribu orang memadati halaman depan istana tua Kesultanan Bima sejak pagi. Mereka datang dari berbagai penjuru Kota dan Kabupaten Bima, untuk menyaksikan tradisi langka yang berangkat dari peringatan Maulud Nabi Muhammad dan peringatan masuknya Islam di Tanah Bima, ratusan tahun lalu. Berbondong-bondong, tua muda bahkan mereka yang telah sepuh seolah menumpahkan nostalgia, datang dan duduk di depan halaman Istana Raja menanti saat-saat peringatan tiba. “Sejak pukul 06.00, saya duduk di sini,” ungkap seorang nenek yang usianya lebih dari 70 tahun.
Ia bercerita, dulu, sebelum tahun 1950-an, ia bersama orangtua, saudara dan tetangganya masih bisa menikmati hikmadnya peringatan Hanta U’a Pua. “Ramai sekali, jauh lebih ramai dari sekarang ini,” ungkapnya. Ia menambahkan, di sekitar istana tersebut orang-orang berdesakan, antri untuk bisa melihat kuda-kuda jantan yang gagah, penari Lenggo juga Uma Lige (mahligai) tempat Sirih Puan yang dipikul ratusan prajurit istana. Nenek ini, dengan mata berbinar, dengan seksama mengikuti satu per satu acara yang disuguhkan hingga prosesi adat tersebut usai. “Meski prosesinya tidak lagi seperti dulu, saya puas menontonnya,” tuturnya mengantar langkah ringkihnya pulang.
Hanta U’a Pua, setidaknya mengobati kerinduan si nenek yang pada masa lalu kejayaan Kesultanan Bima sangat ia banggakan. Kembalinya tradisi U’a Pua ini disambut gembira bukan hanya oleh si nenek, namun juga masyarakat Bima dan petinggi-petinggi adat yang saat itu tampil lengkap dengan pakaian kebesaran Kesultanan Bima yang disebut Siki Lanta. Acara ini, menghadirkan kesan tradisi yang cukup kental karena hampir seluruh undangan mengenakan pakaian adat Bima maupun pakaian adat khusus yang biasa dikenakan pada masa Kesultanan Bima. “Sebagian besar peralatan Kesultanan Bima dikeluarkan pada upacara ini untuk disaksikan khalayak,” kata Siti Maryam.
Musik tradisional mengiring sepanjang acara berlangsung. Simbol-simbol tradisi makin menguatkan dan memberi roh masa lalu yang patut terus dipertahankan sebagai sebuah tradisi yang cukup unik. “Rencananya, kegiatan ini akan diselenggarakan tiap tahun,” ungkap Hj. Siti Maryam Sultan Salahuddin, putri Sultan Salahuddin dari Kesultanan Bima ini. -nik
Tangkai Unik Bunga Dolu
Diyakini Membawa Berkah

DI salah satu jalan utama kota Bima, kuda-kuda jantan yang disebut Jara Wera (Kuda Wera), Jara Sara’u (Kuda Kesultanan) mengiringi orang-orang Melayu sebagai tamu kehormatan dalam acara tersebut dan juga Mahligae (Uma Lige) berukuran besar yang membawa Penghulu Melayu, tengah melintas di hadapan masyarakat Bima yang memenuhi bibir kiri dan kanan sepanjang jalur yang dilewatinya.
Rombongan ini selangkah demi selangkah menuju halaman depan istana tua Kesultanan Bima. Di sana para pejabat dan petinggi adat serta puluhan ribu penonton yang memenuhi sekitar istana, menanti kehadirannya. Beberapa saat kemudian, sepuluh kuda jantan yang disebut Jara Wera memecah suasana hikmad, masuk memperagakan ketagguhannya, berputar-putar mengitari arena dengan penunggangnya yang cekatan. Menurut Hj. Siti Maryam, dulu para penunggang tersebut merupakan pendekar yang menunjukkan jalan serta mengantar para datuk dari Makasar yang datang ke Bima lewat Teluk Bima ketika pertama kali mengenalkan ajaran Islam. Kemudian kuda-kuda ini berlalu diiringi irama tambur yang menderu-deru.
Beberapa saat kemudian Jara Sara’u (pasukan berkuda kerajaan) diikuti pasukan tentara kerajaan lengkap dengan pakaian kebesaran prajurit memasuki halaman istana. “Kuda ini cukup tangkas,” kata Siti Maryam. Dulu, katanya, kuda yang ditunggangi pasukan berkuda dan tentara kerajaan pandai menari sambil berjalan. Kuda-kuda berbadan tinggi tegap tersebut menari mengikuti irama tambur yang ditabuh bertalu-talu. Teriakan-teriakan dan hentakan semangat yang dipandu para penunggang kuda, mengundang tepuk riuh tangan penonton yang larut dalam kekaguman saat menyaksikan tradisi nenek moyangnya itu. Diiringi gemuruh tepuk tangan, Jara Sara’u meninggalkan arena pertanda tugasnya mengawal Uma Lige masuk halaman istana telah berakhir.
Dari pintu halaman istana, rombongan laki-laki, perempuan, anak-anak, tua dan muda, memasuki arena. “Mereka tamu kehormatan dalam acara tersebut,” kata Siti Maryam. Mereka adalah orang-orang keturunan Melayu yang hidup dan hingga kini menjadi bagian dari masyarakat dan adat istiadat Bima. Dalam acara tersebut, mereka mempunyai tempat tersendiri yang sudah disiapkan di bagian kiri panggung kehormatan. Di sana tertulis dengan jelas, ‘Keluarga Melayu’.
Di belakang rombongan ini, sebuah rumah terbuka yang disebut Uma Lige yang di atasnya terdapat Penghulu Melayu dan delapan orang penari yakni empat perempuan yang menari Lenggo Mbojo dan empat laki-laki yang menari Lenggo Melayu, mendampingi Penghulu yang kelihatannya telah sepuh. Juga bunga dolu berjumlah 99 tangkai didampingi bunga male. “Mereka mengantar Sirih Puan untuk diserahkan kepada Jena Teke (raja muda),” ujar Siti Maryam. Dulu, Uma Lige tersebut diangkat ratusan orang yang berebut satu sama lain untuk memperoleh kesempatan menjadi pemanggul.
Setelah Sirih Puan diserahkan kepada Jena Teke Kesultanan Bima, Ferry Zulkarnaen, suasana riuh mulai terdengar. Dari tiap sudut panggung kebesaran, tamu undangan maupun warga masyarakat yang menonton menyerbu bunga dolu dan bunga male. Ratusan orang yang kebetulan mampu berada di barisan paling depan berebut mendapatkannya. “Ini simbol membagi berkah kepada rakyat,” ujar Siti Maryam. Siapa yang berhasil mendapatkan bunga dolu dalam acara rebutan, diyakini mampu membawa berkah. “Ini untuk anak saya, semoga cepat dapat jodoh,” tutur Hafsah, seorang ibu dengan napas tersengal-sengal usai berdesakan dengan ratusan orang. Namun ia mengaku senang dan bangga bisa menjadi salah seorang yang berhasil membawa pulang tangkai unik tersebut. –nik


Oleh arixs

SUMBER
Comments
0 Comments

No comments: